RKUHAP Baru Dinilai Lemahkan Fungsi Pengawasan, Pakar Hukum: Waspadai Celah Abuse of Power

Seminar Nasional di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo,(foto : istimewa)


Sidoarjo – Pembahasan soal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) kembali menghangat, setelah para akademisi dan pakar hukum menyoroti sejumlah pasal kontroversial dalam versi terbarunya. Dalam Seminar Nasional di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Jawa Timur, Senin (21/4/2025), muncul kekhawatiran serius terhadap potensi (Abuse of Power) penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum.

Guru Besar Hukum Universitas Bhayangkara, Prof. Sadjijono, secara lugas mengkritisi sejumlah perubahan dalam tiga versi RKUHAP terakhir—2023, Februari 2025, dan yang terbaru per 3 Maret 2025. Menurutnya, ada dinamika yang mencerminkan tarik-ulur kepentingan lembaga hukum di balik penyusunan draf tersebut.

“Salah satu poin krusial adalah penghapusan dominasi kejaksaan dalam perkara pidana. Namun ironisnya, justru dalam beberapa ketentuan lain masih terlihat potensi ketimpangan,” ungkapnya.

Salah satu sorotan tajam adalah soal mekanisme praperadilan. Dalam versi 2023, mekanisme ini sempat dihapus dan diganti dengan istilah “pemeriksaan pendahuluan”. Baru pada versi Maret 2025, praperadilan dikembalikan. Namun, kata Prof. Sadjijono, tetap ada kejanggalan dalam hak banding atas putusan.

“Putusan praperadilan terkait upaya paksa tidak bisa dibandingi, sedangkan penghentian penyidikan dan penuntutan masih bisa. Ini menimbulkan diskriminasi perlakuan hukum,” tegasnya.

Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa tanpa pengawasan ketat, RKUHAP yang rencananya akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2026, berpotensi membuka ruang luas bagi praktik abuse of power, terutama oleh lembaga penegak hukum seperti kejaksaan.

“Diferensiasi Fungsional tidak cukup jika hanya ada di atas kertas. Harus dikawal oleh lembaga pengawas independen agar tidak menjadi alat kekuasaan,” ujarnya mengingatkan.

Seminar ini juga menghadirkan Dr. Radian Salman, Dr. Prawitra Thalib, dan Direktur LKBH Umsida Rifqi Ridlo Phahlevi, yang turut memperkuat pandangan bahwa revisi besar seperti ini harus melibatkan publik dan akademisi secara aktif.
Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler