Islamabad — Keputusan kontroversial pemerintah Pakistan yang mencalonkan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk Penghargaan Nobel Perdamaian 2026 menuai gelombang protes di dalam negeri. Publik hingga politisi senior Pakistan menyatakan kekecewaan dan kemarahan atas langkah tersebut, yang dinilai bertolak belakang dengan realitas geopolitik.
Mengutip laporan Ynet News, Senin (23/6/2025), pemerintah Pakistan mengajukan nama Trump sebagai bentuk penghargaan atas peran mediasi mantan Presiden AS itu dalam meredakan ketegangan antara Pakistan dan India. Trump disebut memainkan peran penting dalam membantu tercapainya gencatan senjata antara kedua negara yang memiliki sejarah konflik panjang.
Dalam dokumen pengajuan resmi, pemerintah Pakistan menyebut Trump sebagai tokoh dengan “intervensi diplomatik yang menentukan” dan “kenegarawanan sejati” dalam proses perdamaian terbaru yang terjadi bulan lalu antara Islamabad dan New Delhi.
Namun, pencalonan tersebut justru muncul hanya beberapa hari setelah Amerika Serikat di bawah dukungan politik Trump melakukan serangan udara ke sejumlah fasilitas nuklir Iran di Fordow, Isfahan, dan Natanz. Serangan ini memicu ketegangan baru di Timur Tengah dan menjadi pemicu utama kemarahan publik di Pakistan.
Ketua Partai Jamiat Ulema-i-Islam (JUI-F), Maulana Fazlur Rehman, menyuarakan kritik keras terhadap keputusan pemerintah. "Dengan darah warga Afghanistan dan Palestina di tangan Amerika, bagaimana bisa Trump disebut sebagai simbol perdamaian?" tegasnya kepada media lokal.
Gelombang kritik juga ramai di media sosial, dengan tagar #NoNobelForTrump dan #ShameOnGovt menjadi tren di Pakistan. Banyak warganet menilai pencalonan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip keadilan dan solidaritas dunia Islam.
Hingga saat ini, pemerintah Pakistan belum memberikan tanggapan resmi atas kontroversi yang berkembang di masyarakat.
